Jika kita mau jujur dan melihat dengan mata dan hati kita apa yang telah terjadi di sekitar
kita tutur kata dan sikap perilaku tokoh atau masyarakat kita saat ini lebih banyak mencerminkan
sikap perilaku yang jauh dari prinsip-prinsip moral universal maupun
tradisional bangsa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari kita akan mudah menemukan contoh
buruk seperti perilaku yang jauh dari tertib, tidak tepat waktu/kurang disiplin, tindak
kekerasan hingga munculnya kasus-kasus asusila baik yang dilakukan oleh
generasi muda hingga figur publik mulai dari artis, politisi sampai pejabat negara.
Kualitas karakter yang memprihatinkan tersebut pada akhirnya memicu munculnya ide perlunya pendidikan karakter secara khusus dalam Sistem Pendidikan Nasional. Meski harus diakui bahwa Pendidikan Karakter memiliki tantangan yang lebih rumit dan sulit. Hal ini karena berhasil dan tidaknya pendidikan karakter hanya dapat dilihat dari perkembangan kualitas karakter suatu masyarakat pada beberapa puluh tahun yang akan datang. Maka kegagalannya akan mengakibatkan sia-sianya waktu beberapa puluh tahun yang terlewati sekaligus harus mengulang lagi dari awal untuk beberapa puluh tahun ke depan.
Kualitas karakter yang memprihatinkan tersebut pada akhirnya memicu munculnya ide perlunya pendidikan karakter secara khusus dalam Sistem Pendidikan Nasional. Meski harus diakui bahwa Pendidikan Karakter memiliki tantangan yang lebih rumit dan sulit. Hal ini karena berhasil dan tidaknya pendidikan karakter hanya dapat dilihat dari perkembangan kualitas karakter suatu masyarakat pada beberapa puluh tahun yang akan datang. Maka kegagalannya akan mengakibatkan sia-sianya waktu beberapa puluh tahun yang terlewati sekaligus harus mengulang lagi dari awal untuk beberapa puluh tahun ke depan.
Secara substansi, kesadaran pendidikan karakter bukanlah hal
baru di Indonesia. Hanya istilahnya saja yang berbeda-beda. Di era Orde Baru,
kita mengenal Penataran P4 (bahkan dengan sertifikat) untuk berbagai tingkatan,
Pendidikan Moral Pancasila, hingga pendidikan agama. Konsep ketiganya bertujuan
akhir untuk membentuk karakter bangsa Indonesia agar berkualitas. Namun
sayang, konsep ini lebih menitikberatkan pada kemampuan kognitif untuk
menguasai nilai-nilai moral. Akibatnya, materi yang didapat hanya berhenti
sebatas pemahaman bukan kesadaran. Di sinilah pendidikan karakter telah
diberlakukan sebagai studi tentang karakter.
Dari sini kita seharusnya merubah orientasi Pendidikan
Karakter yang berbasis Studi tentang Karakter menjadi berbasis Pengembangan
Karakter (character building). Pendidikan Karakter berbasis Pengembangan
Karakter tidak saja mengajarkan nilai-nilai moral sebagai ilmu pengetahuan yang
dihafal untuk kepentingan ujian tertulis namun lebih dari itu juga sebagai
pembentukan kepribadian sehingga ukuran terpenting keberhasilan pendidikan karakter
adalah adanya perubahan mendasar karakter masyarakat ke arah yang lebih baik.
Maka
menarik menilik pendapat Nursalam Sirajuddin ( http://metronews.fajar.co.id/ ),
seorang praktisi pendidikan, bahwa keberhasilan pendidikan karakter dapat
dicapai melalui 3 desain.
Yang
pertama adalah desain berbasis kelas
Di
mana hubungan antara guru dan siswa harus merupakan perwujudan dari
prinsip-prinsip yang diajarkan di kelas. Sebaik apapun prinsip yang diajarkan
di kelas jika guru gagal memberi contoh melalui perilaku sehari-hari dalam
hubungannya dengan siswa maka besar juga potensi kegagalan pendidikan karakter
pada siswa-siswanya.
Kedua
adalah desain berbasis kultur sekolah
Yaitu
penting dilakukannya penguatan nilai-nilai kepribadian oleh seluruh komponen sekolah
sehingga melebur dan menjadi kebiasaan dalam keseharian. Kebiasaan yang
tertanam secara mendalam tentu akan membentuk karakter secara kuat sehingga
tidak mudah luntur oleh situasi apapun.
Ketiga
adalah desain berbasis komunitas.
Secara
ruang lingkup, desain ini lebih rumit karena tidak saja menjadi tanggungjawab
sekolah namun telah menjadi tanggungjawab keseluruhan komponen kemasyarakatan
sehingga diperlukan sinergisitas antara komponen masyarakat seperti sekolah,
keluarga, tempat tinggal, pergaulan, pemerintah, dan lain-lain. Di sini
keberhasilan pendidikan karakter sangat bergantung dengan komitmen dari
masing-masing komponen. Jika salah satu saja melenceng dari komitmen menegakan
nilai-nilai yang mendukung pendidikan karakter maka akan sia-sialah pendidikan
karakter yang giat diupayakan sekolah.
Ide memunculkan pendidikan karakter oleh pemerintah sebagai
bagian pembelajaran siswa sebenarnya merupakan hal yang baik dan patut disambut dengan semangat kebangsaan . Namun jangan
diabaikan bahwa dalam mata pelajaran tertentu telah memuat nilai-nilai pendidikan
karakter seperti pelajaran agama, Moral Pancasila, seni budaya, olah raga, dan
sebagainya. Keadaan ini harus dikritisi mengingat potensi tumpang tindih yang
ujung-ujungnya hanya membebani siswa dan membingungkan praktisi pendidikan
(guru).
Jika pendidikan karakter dihadirkan sebagai mata pelajaran
khusus, selain potensi overlapping (tumpang tindih) yang cukup besar,
juga harus diperhatikan berkaitan dengan beban akademik yang berlebih. Hal ini
penting menjadi catatan tebal mengingat kurikulum nasional dikenal sebagai
kurikulum yang memberikan beban berat pembelajaran bagi siswa di Indonesia.
Jika ini diabaikan maka tujuan ideal pendidikan karakter untuk pengembangan
kepribadian anak didik kita bisa-bisa terlupakan.
Disampaikan Oleh : Mulyono,S.Pd (Pengawas TK/SD Dabin I-Dinpendik Kec.Bulu Kab.Rembang)
dalam pertemuan pemberdayaan KKG Gugus Panglima Soedirman Kecamatan Bulu
Kabupten Rembang pada hari Sabtu,28 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar